Epilepsi merupakan sekelompok gangguan neurologis yang ditandai oleh serangan bangkitan berulang tanpa diprovokasi. Sekitar 1 persen populasi di seluruh dunia menderita epilepsi, sehingga kondisi ini menjadi salah satu masalah kesehatan yang kronis terutama pada populasi wanita usia reproduktif. Walaupun angka kejadian epilepsi dan pendekatan pengobatan antara pria dan wanita cenderung sama, penderita epilepsi wanita cenderung mengalami serangan dengan pola yang berkaitan dengan kondisi reproduksinya dan bagian dari komplikasi kehamilan.
Pengaruh Hormonal pada Serangan Epilepsi
Hormon yang dihasilkan ovarium dapat menganggu eksitabilitas neuron pada sistem saraf pusat. Esterogen dapat menurunkan ambang kejang sehingga memudahkan terjadinya kejang, sedangkan progesteron bersifat sebaliknya. Pada percobaan hewan, penurunan hormon progesteron dan peningkatan hormon esterogen dapat menyebabkan kecenderungan timbulnya kejang.
Wanita yang menderita epilepsi mungkin akan mengalami perubahan kejang pada saat pubertas, selama siklus menstruasi, dan sewaktu menopause. Pola terjadinya serangan akan berubah seiring terjadinya perubahan kadar hormon esterogen dan progesteron. Biasanya beberapa sindrom epilepsi tertentu misalnya epilepsi absans dan epilepsi Rolandic akan berhenti pada saat pubertas. Sedangkan epilepsi yang lain cenderung mengalami perburukan seperti Juvenile Myoclonic Epilepsy yang mana sering muncul pada saat pubertas, serta Juvenile Absence Epilepsy. Kedua jenis sindroma epilepsi ini jarang mengalami remisi.
Hubungan di antara siklus menstruasi dan kejang telah diselidiki secara luas. 30 sampai 50 persen wanita dengan epilepsi mengalami kejang katamenial (berhubungan dengan siklus menstruasi). Kejang lebih terjadi pada saat menstruasi dikarenakan penurunan progesteron dan peningkatan esterogen yang sangat tinggi pada saat ovulasi. Pada beberapa wanita, kejadian kejang lebih acak dan parah ketika terjadi siklus anovulasi dikarenakan rasio esterogen dan progesteron tetap tinggi dimana esterogen sangat tinggi dan progesteron sangat rendah.
Pada perimenopause, pola epilepsi juga mengalami perubahan begitu juga dengan kontrol terhadap kejang. Meskipun sekitar 30 persen wanita akan mengalami perbaikan setelah menopause, sebanyak 30 persen penderita malah mengalami perburukan kejang terutama mereka yang mengalami terapi sulih hormon dengan antagonis esterogen.
Epilepsi pada kehamilan
Frekuensi bangkitan kejang meningkat selama kehamilan pada sekitar sepertiga wanita penderita epilepsi, dimana terutama disebabkan kepatuhan pengobatan yang rendah dikarenakan takutnya akan efek samping memakan obat pada saat hamil dan perubahan famakokinetik obat anti epilepsi dimana kadar obat dalam serum darah dapat menurun akibat peningkatan volume darah, metabolisme dan pembuangan ginjal. Oleh sebab itu, pemantauan dan pencocokan kadar obat direkomendasikan selama kehamilan.
Wanita dengan epilepsi memiliki resiko melahirkan bayi dengan malformasi yang berat sebesar 4 sampai 8 persen, dibandingkan 2 sampai 4 persen pada wanita sehat. Malformasi ini berkaitan dengan paparan obat anti epilepsi golongan lama, dimana terjadi kelainan berupa sumbing pada bibir dan langit-langit mulut serta defek pada sekat jantung.
Defek bumbung neural (neural tube defect) diperikarakan berkaitan dengan paparan obat karbamazepin dan valproat. Sedangkan anomali kongenital minor mengenai sekitar 7 sampai 15 persen bayi yang terpapar obat anti epilepsi, sekitar 2 kali lipat dibanginkan populasi umum. Kelainan ini terutama bermanifestasi pada wajah dan jari.
American Academy of Neurology telah mengeluarkan suatu parameter praktis terapi obat anti epilepsi tunggal dengan dosis obat terendah yang dapat dipakai untuk mengontrol bangkitan kejang. Pemberian suplemen asam folat perlu dilakukan pada semua wanita yang hamil dan menyusui, dimana dosis yang direkomendasikan adlaah 0,4 sampai 4 mg per hari. Selain itu, pemeriksaan diagnostik prenatal yang dianjurkan antara lain uji serum alfa fetoprotein ibu pada usia kehamilan 15 sampai 20 minggu dan USG pada usia kehamilan 16 sampai 18 minggu. Selain itu direkomendasikan pemberian vitamin K oral pada wanita penderita epilepsi yang hendak melahirkan untuk mengurangi resiko perdarahan neonatus.
Pilihan Kontrasepsi
Penderita epilepsi wanita yang mendapat obat anti epilepsi yang menginduksi enzim hati mengalami sedikitnya 6 persen kegagalan pemakaian pil kontrasepsi hormonal per tahun. Kontrasepsi oral yang paling sering dikonsumsi mengandung komponen esterogen sebesar 35 mcg atau kurang, sehingga kurang efkesif pada wanita yang mengkonsumsi obat anti epilepsi. Pemakaian implan subdemal pun kurang efektif. Ada baiknya penderita epilepsi yang mengkonsumsi obat anti epilepsi menggunakan metode kontrasepsi yang non hormonal seperti spiral atau memakai kontrasepsi yang mengandung esterogen sebesar 50 mcg atau lebih.
Epilepsi dan Kesuburan
Angka fertilitas pada wanita penderita epilepsi cenderung menurun sekitar sepertiga sampai dua pertiga dibandingkan dengan saudaranya yang bukan penderita epilepsi. Sekitar sepertiga atau lebih siklus mensturasi pada penderita serangan bersifat anovulasi. Gangguan endokrin reproduktif pada wanita penderita epilepsi mencakup gangguan konsentrasi lutenizing hormone dan pelepasan pulsatilnya, serta abnormalitas kadar prolaktin dan hormon steroid.
Penyakit kista ovarium polikistik didapatkan pada 20 sampai 40 persen wanita penderita epilepsi, di mana mereka menjalani pemeriksaan USG ovarium. Gejala yang sering muncul adalah peningkatan indeks masa tubuh, hirsutisme, siklus menstruasi yang abnormal, dan siklus yang anovulasi. Untuk mengidentifikasi dan menatalaksana gangguan reproduktif pada penderita epilepsi, mereka harus diperiksa secara rutin. Adanya kecurigaan penyakit ovarium polikistik mungkin memerlukan pemeriksaan endokrin, mencakup pemeriksaan kadar lutenizing hormone, testosteron dan prolaktin, pemeriksaan pelvis, dan USG ovarium.
Sumber : http://www.analisadaily.com
Sumber : http://www.analisadaily.com